![]() |
| Ilustrasi - Tata kelola lemah dikhawatirkan membuat anggaran MBG Rp71 triliun bocor ke koruptor, bukan jadi gizi. Foto: Istimewa |
Ringkasan Berita
- Program MBG dengan anggaran Rp71 triliun tahun 2025 menargetkan 82,9 juta penerima dari anak PAUD hingga ibu hamil dan menyusui.
- CISDI menilai petunjuk teknis berbahaya karena tidak mengatur standar kebersihan, keamanan pangan, dan prosedur pengadaan secara rinci.
- Lebih dari 10.000 kasus keracunan diduga terkait MBG hingga September 2025, termasuk 1.333 korban pelajar di Bandung Barat.
- Titik rawan korupsi meliputi mark-up harga, kickback vendor, pengiriman fiktif, penerima fiktif, dan penyalahgunaan Dana Desa.
- Publik didorong jadi pengawas garis depan dengan memantau kualitas bahan, porsi makanan, dan melaporkan dugaan penyimpangan ke KPK atau SP4N-LAPOR!.
JAKARTA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp71 triliun untuk 2025 siap bergulir. Namun, skala raksasa ini dihadapkan pada tata kelola yang dinilai lemah, memicu kekhawatiran akan terulangnya korupsi bansos.
Ambisi Besar, Anggaran Fantastis
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menargetkan 82,9 juta penerima manfaat. Sasarannya mencakup anak PAUD, balita, hingga ibu hamil dan menyusui.
Implementasi program akan dilakukan secara bertahap. Dimulai dari tiga juta penerima pada awal 2025, targetnya melonjak jadi 18 juta di akhir tahun.
Pemerintah telah mengalokasikan Rp71 triliun dalam APBN 2025 untuk tahap awal. Kebutuhan anggaran setahun penuh diproyeksi bisa mencapai Rp420 triliun.
Besarnya alokasi ini menempatkan MBG sebagai salah satu pos belanja negara terbesar. Muncul pula wacana penggunaan Dana Desa untuk ikut mendanai program.
Tata Kelola Rapuh, Juknis Jadi Celah
Landasan hukum utama program saat ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024. Badan Gizi Nasional (BGN) ditunjuk sebagai lembaga pelaksana utama.
Namun, petunjuk teknis (juknis) operasional di lapangan dinilai sangat tidak memadai. Kajian dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) bahkan menyebut juknis yang ada saat ini berbahaya.
Kajian tersebut menyoroti ketiadaan aturan detail terkait aspek krusial. Standar kebersihan, keamanan pangan, dan prosedur pengadaan bahan baku tidak diatur secara rinci.
Ketiadaan aturan ini menciptakan "zona abu-abu" yang rawan diskresi dan kelalaian. Padahal, program akan melibatkan target 30.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia.
Risiko Kesehatan Publik
Kelemahan regulasi ini dikhawatirkan berdampak langsung pada kesehatan penerima manfaat. Sejumlah laporan terkait insiden keracunan massal pun telah muncul.
Disebutkan, lebih dari 10.000 kasus keracunan diduga terkait program ini hingga September 2025. Salah satu insiden terbesar dilaporkan terjadi di Bandung Barat yang memakan 1.333 korban pelajar.
Selain itu, kontroversi mengenai penggunaan peralatan makan non-halal juga sempat mencuat. Hal ini menyoroti lemahnya uji tuntas (due diligence) dalam rantai pasok.
Tekanan untuk memotong biaya juga berisiko menghasilkan "gizi kosong". Makanan yang disajikan mungkin hanya mengenyangkan, tetapi miskin vitamin dan mineral esensial.
Memetakan Titik Rawan Korupsi MBG
Para pengamat mengidentifikasi celah korupsi di hampir setiap tahapan Program Makan Bergizi Gratis. Tahap pengadaan (procurement) dinilai sebagai titik paling rentan.
Pengadaan dan Rantai Pasok
Modus potensial yang paling disorot adalah mark-up harga satuan. Penunjukan vendor yang terafiliasi secara politik juga menjadi kekhawatiran utama.
Kolusi dan permintaan kickback (uang pelicin) dari vendor sangat mungkin terjadi. Celah ini akan bergeser ke rantai pasok setelah kontrak didapat.
Vendor yang sudah membayar fee di awal, berpotensi mengurangi kualitas dan kuantitas bahan baku. Pengiriman fiktif (ghost deliveries) juga rawan terjadi di daerah terpencil.
Oknum di jalur distribusi juga bisa melakukan pungutan liar (pungli). Biaya ilegal ini pada akhirnya akan dibebankan pada kualitas makanan yang diterima anak-anak.
Data dan Dana Desa
Akurasi data penerima manfaat selalu menjadi titik lemah program sosial di Indonesia. Risiko munculnya penerima fiktif (ghost beneficiaries) dalam program MBG dinilai sangat besar.
Wacana penggunaan Dana Desa untuk pembiayaan juga dikhawatirkan membuka celah baru. Potensi tumpang tindih anggaran dan duplikasi laporan sangat tinggi.
Berkaca dari Skandal Bansos COVID-19
Pola risiko korupsi MBG dinilai sangat mirip dengan skandal bansos COVID-19. Kasus itu dianggap sebagai cetak biru penyalahgunaan bantuan darurat berskala besar.
Modus utama korupsi bansos adalah pemotongan fee sistematis dari setiap paket bantuan. Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terbukti di pengadilan meminta fee Rp10.000 per paket.
Proses pengadaan dimanipulasi dengan membenarkan penunjukan langsung vendor. Banyak vendor dadakan yang terafiliasi ditunjuk meski tidak kompeten.
Akibatnya, kualitas dan kuantitas bantuan untuk warga merosot tajam. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) saat itu mengungkap banyak paket berisi beras apek atau sarden kedaluwarsa.
Kondisi inilah yang dikhawatirkan terulang pada Program MBG. Tekanan implementasi yang sangat cepat berpotensi besar mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Publik Didorong Jadi Pengawas Garis Depan
Di tengah besarnya risiko sistemik, pengawasan publik menjadi benteng pertahanan krusial. Masyarakat, terutama orang tua murid, didorong aktif mengawasi implementasi di lapangan.
Beberapa langkah praktis dapat dilakukan oleh publik. Mulai dari menanyakan secara proaktif siapa vendor penyedia makanan di sekolah.
Masyarakat juga bisa memantau jadwal menu harian dan membandingkannya dengan kenyataan. Kualitas, porsi, dan kebersihan makanan dapat diamati secara langsung.
Berikut adalah beberapa indikator penyimpangan di lapangan yang bisa diawasi publik:
- Kualitas bahan baku terlihat rendah (beras apek, sayur layu, lauk berbau tidak sedap).
- Porsi makanan terlihat jauh lebih kecil dari yang seharusnya atau dijanjikan.
- Terjadi insiden sakit perut, diare, atau muntah massal setelah mengonsumsi makanan.
- Vendor atau katering yang ditunjuk diketahui milik kerabat pejabat lokal.
- Adanya permintaan "uang terima kasih" atau pungli dalam bentuk apa pun kepada penerima.
Jika menemukan indikasi tersebut, masyarakat diimbau mendokumentasikannya. Bukti berupa foto, video, dan catatan kronologis sangat penting untuk pelaporan.
Laporan dapat disampaikan ke berbagai kanal resmi pemerintah. Aduan terkait pelayanan publik bisa melalui SP4N-LAPOR! atau Ombudsman RI.
Sementara itu, dugaan tindak pidana korupsi yang serius dapat dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaporan juga bisa dilakukan melalui koalisi masyarakat sipil untuk mendapatkan advokasi dan perlindungan.

Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda dengan bahasa yang sopan dan relevan dengan topik. Komentar yang mengandung spam, tautan promosi, atau ujaran kebencian akan dihapus oleh moderator.